Minggu, 08 Mei 2011

4. Tafsir QS An Najm 36 – 39


Tanya :
Bagaimanakah penafsiran ulama’ yang ahli tentang QS An Najm 39 ?
Jawab :
QS An Najm 36 39 selengkapnya adalah :
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَىٰ  وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّىٰ  أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ  وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Artinya : “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
Berikut ini beberapa penafsiran para ulama’ ahli tafsir mengenai ayat di atas.
1.    Syaikh Sulaiman bin Umar Al Ajili menjelaskan : Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata bahwa hukum ayat tersebut telah dimansukh atau diganti dalam syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya hanya berlaku dalam syariat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam  dan Nabi Musa ‘alaihis salam, kemudian untuk ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kandungan QS An Najm 39 tersebut dimansukh dengan firman Allah :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk ke dalam syurga berkat amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku bagi syariat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam  dan Nabi Musa ‘alaihis salam. Sedangkan untuk untuk ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain.” (Al Futuhat Al Ilahiyah, hal 236).
Pendapat yang sama juga dapat dilihat dalam Tafsir Khazin Juz IV, hal 233 dan lainnya.
2.       Menurut Mufti Mesir Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, beliau mengatakan : Firman Allah : وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ perlu diberi batasan yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia, bila tidak ada orang lain yang menghadihkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan pahala ibadah kepadanya, maka pahala itu akan sampai kepada orang telah meninggal dunia tersebut. (Hukm al Syari’ah Al Islamiyah fi Ma’tam Al Arba’in, 23-24)
3.       Menurut Syaikh Muhammad Al Arabi :

Sabtu, 07 Mei 2011

3. Hadiah Pahala


Tanya :
Apakah pahala bacaan Al Qur’an dan tahlil yang dihadihkan kepada orang yang telah meninggal dunia bisa sampai kepadanya?
Jawab :
Seorang mukmin seharusnya tidah usah ragu terhadap kasih sayang dan kekuasaan Allah. Kalau hanya untuk menyampaikan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia, tentu saja hal itu sangat mudah bagi Allah. Dan perlu diingat, bahwa Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan diantara sesama ummat Islam) tidak akan terputus karena kematian. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah member contoh kepada ummatnya untuk memberi hadiah pahala kepada orang yang telah meninggla dunia, sebagaimana hadits اِقْرَؤُوايس على موتاكم serta hadits yang lain. Anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut menunjukkan bahwa mayyit dapat merasakan manfaat bacaan Al Qur’an atau dzikir yang dihadihkan kepadanya.

Tanya :
Kalau memang ada hadits yang menjelaskan sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia, apakah tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut :
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Artinya : “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Jawab :
Persoalan itu sebenarnya telah dijawab dengan tuntas oleh Al Imam Syamsuddin Abi Abdillah Ibnul qayyim Al Jauziyyah lebih dari 600 tahun yang lalu. Beliau berkata, “Pendapat yang mengatakan bahwa hadits mengenai sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia itu bertentangan dengan firman Allah QS An Najm : 39 yaitu bahwa seorang manusia itu tiada memperoleh selain apa yang ia telah disusahakannya, adalah cerminan sikap yang kurang sopan di dalam ungkapannya dan salah besar dalam mengartikannya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjaga agar tidak terjadi kontradiksi antara hadits dengan Al Qur’an., bahkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan penguat dan penjelas ayat-ayat Al Qur’an. Kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan Al Qur’an, maka ia berasal dari buruknya pemahaman.Dan hal adalah cara yang kurang baik dengan menolak hadits yang sudah jelas dengan dhzhir ayat Al Qur’an yang disalahpahami.” (Ar Ruh hal 13)
Pendapat Ibnul Qayyim di atas selaras dengan sebuah sya’ir :
  فَكَمْ مِنْ عَائِبِ قَوْلاً صَحِيْحًا   
وَآفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَّقِيْمِ
Betapa banyak orang yang menyalahkan pendapat yang benar
Bukan karena pendapat itu salah 
namun lebih karena pemahaman yang tidak benar

Tanya :
Jadi, siapakah sesungguhnya yang berpendapat bahwa hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia ?
Jawab :
Yang berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidk sampai kepada orang yang telah meninggal dunia adalah ahli bid’ah dan kaum Mu’tazilah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim :
وَذَهَبَ أَهْلُ الْبِدَعِ مِنْ أَهْلِ الْكَلَامِ أَنَّهُ لاَيَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ شَيْءٌاَلْبَتَّةَ لاَدُعَاءٌ وَلاَغَيْرُهُ
Artinya : “Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia” (Ar Ruh, 137)
Dan pernyataan dari Imam Syaukani :
وَقَدِ اخْتَلَفَ فِيْ غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَلِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ؟فَذَهَبَتِ الْمُعْتَزِلَةُ إِلَى أَنَّهُ لاَيَصِلُ إِلَيْهِ شَيْءٌ
Artinya : “Terjadi perbedaan pendapat mengenai persoalan sampai tidaknya pahala selain sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa pahala selain sedekah tidak sampai (kepada orang yang telah meninggal dunia).”(Nail Al Authar, juz IV, hal 142)

Tanya :
Jadi bagaimana sesungguhnya yang benar dari QS An Najm ayat 39 tersebut ?
Jawab :
Masalah ini sebaiknya diserahkan kepada para Mufassir yang ahli dalam bidangnya, sehingga kita terhindar dari kesalahpahaman, sebagaimana dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَوُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِأَهْلِهِ فَانْتَظِرِالسَّاعَةَ
Artinya : “Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya. ” (HR Bukhari, 57)
Dalam hadits lain diriwayatkan :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ أَوْ بِمَالَمْ يُعْلَمْ فَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya : “Dari Ibn Abbas adhiyallahu anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang menafsirkan Al Qur’an dengan pendapatnya sendiri (ra’yu) atau dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. ” (HR At Tirmidzi, 2875)

Kamis, 05 Mei 2011

2. Hukum Berkumpul.

Tanya :
Bagaimana hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca tahlil, seperti yang sudah bisa dilakukan oleh msyarakat di berbagai tempat, yaitu dengan membaca Al qur’an, shalawat, istighfar, tahlil dan dzikir yang lain, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia?
Jawab :
Hukumnya boleh (jaiz). Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani berkata, “Kebiasaan di sebagian Negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagim hukumnya boleh (jaiz). Namun didalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada pernjelasan  (secara dalilnya dari syariat). Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya  bukanlah su=esuatu yang haram (muharram fi nafsih), apalagi di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al Qur’an atau dzikir lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti اِقْرَؤُوايس على موتاكم  (bacalah surat Yasin pada orang mati diantara kamu). Tidak ada bedanya apakah pembaca surat Yasin tersebut dilakukan bersama-sama di dekat si mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al Qur’an sebagian atau keseluruhan, baik dilakukan di masjid atau di rumah.” (A Rasa’il Al Salafiyah hal 46)

Tanya :
Benarkah jika ada pernyataan bahwa mengadakan perkumpulan seperti di atas adalah bid’ah(dhalalah)?
Jawab :
Anggapan tersebut tidak benar. Selanjutnya Asy Syaukani berkata, “Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di dalam masjid, melagukan syair-syair, mendiskusikan hadits-hadits dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah-tengah mereka ada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang didalamnya tidak terdapat perbuatan haram adalah bid’ah, mak ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini, yakni semacam tahlil, tidaklah termasuk bid’ah (tidak membuat ibadah baru).” (Al Ras’il Al Salafiyah, hal 46)

Tanya :
Adakah dalilnya orang yang menyelenggarakan perkumpulan atau pertemuan sambil membaca Al Qur’an dan dzikir?
Jawab :
Ada dan bersumber dari hadits shahih. 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَااجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum didalam salah satu rumah Allah, sambil membaca Al Qur’an bersama-sama, kecuali Allah akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para malaikat dan Allah memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisiNya.” (HR Sunan Ibnu Majah : 221)

Dalam hadits lain :
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍالْخُدْرِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّوَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ 

Dari Abi Sa’id al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan tiadklah berkumpul suatu kaum sambil menyebut asma Allah, kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisiNya.” (HR Muslim No. 4868)

Muqaddimah